kaidah pengikut
kaidah pengikut

Kaidah Fikih: Pengikut Jangan Ambil Keputusan Sendiri

Kepatuhan terhadap pemimpin mutlak dibutuhkan untuk mencapai ketertiban dan stabilitas dalam menjalankan sebuah cita-cita bersama. Seorang pemimpin sangat dibutuhkan untuk mengambil keputusan-keputusan agar satu suara untuk diarahkan pada tujuan yang sama.

Spirit pemimpin dan yang dipimpin atau pengikut dalam Islam tercermin dalam persoalan yang sangat sederhana, yakni dalam situasi perjalanan (musafir). Ketika melakukan perjalanan dengan melibatkan beberapa orang, hendaklah satu di antaranya ditunjuk sebagai pemimpin.

Tujuannya, untuk mengarahkan perjalanan menjadi fokus dan kompak. Ketika berada di persimpangan jalan, pemimpin berhak menentukan arah mana jalan yang harus ditempuh, sehingga rombongan musafir tidak terpecah menjadi dua arah, meskipun dua arah tersebut menuju arah tujuan yang sama.

Sebagaimana tercermin dari kaidah sebelumnya, at-tabi’u tabiun, pengikut harus ikut. Sebagai konsekuensi dari kaidah ini terdapat beberapa kaidah yang menjadi turunan atau sub-kaidah seperti berikut ini:

اَلتَّابِعُ لاَ يُفْرَدُ بِاْلحُكْمِ.

(at-tabi’u la yufradu bil hukmi)

Artinya: “Sesuatu yang ikut tidak boleh memiliki keputusan secara mandiri.”

Maksud kaidah ini bahwa segala sesuatu yang keberadaannya ikut bersama barang lain (at-tabi’) tidak boleh dijadikan objek transaksi secara tepisah,  sehingga memiliki status hukum sendiri. Tabi’ yang dimaksudkan adalah sesuatu yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dan menyatu. Misalnya, seperti janin dalam kandungan, dan anggota tubuh hewan.

Dipandang dari aspek keterkaitan hukum, tabi’ diposisikan sebagai barang yang tak berwujud (ma’dum), sehingga tidak bisa dijadikan objek hukum. Artinya, sesuatu yang ikut melekat tidak bisa diposisikan secara mandiri dan terpisah.

Aplikasi kaidah: janin yang ada dalam kandungan tidak boleh dijual secara terpisah dengan induknya, sekaligus tidak bisa dikecualikan saat induknya dijual atau digadaikan. Jika dalam penjualan induk disyaratkan janin tidak ikut, maka jual beli tidak sah, karena dianggap syarat yang fasid (rusak). Tidak boleh menjual bagian-bagian anggota tubuh hewan saat hewan masih hidup, meskipun bisa dipisah setelah disembelih.

Ulat yang terlahir dari buah-buahan boleh dimakan bersama buahnya selama masih melekat dalam buah, tetapi tidak boleh dimakan tersendiri lepas dari buah. Jadi, andaikan ulat tersebut jatuh dan lepas dari buah, tidak boleh diambil lalu dimakan.

Seseorang yang mengolah tanah mati menjadi tanah produktif disamping memiliki tanah tersebut juga secara otomatis memiliki tanah pematang yang mengelilinginya (harim). Hukum harim mengikuti tanah produktif yang berhasil diolah, sehingga harim tidak boleh dijual secara terpisah karena berposisi sebagai tabi’. 

Hikmah kaidah dalam kehidupan. Kesuksesan dan keberhasilan hari ini tentu tidak lepas dari peran orang-orang yang pernah menjadi kiblat panutan kita, orang yang pernah membimbing, mengarahkan, menemani, dan mendidik kita. Jangan lupakan mereka, jangan lepaskan mereka, sambung silaturrahim dengan mereka, karena kesuksesan kita tersambung erat dengan peran mereka, siapapun mereka, terlebih kedua orang tua, guru, teman hidup kita. Merakalah orang-orang hebat yang tak boleh dilupakan. []

Wallahu ‘alam

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …