Kaidah ini berbicara tentang status hukum pengikut yang belum mandiri.
Kemandirian dalam segala hal merupakan impian setiap manusia. Mulai dari lingkup kecil seperti keluarga hingga lingkup yang lebih luas semisal negara. Kemandirian adalah kemerdekaan dalam bersikap dan berdaulat.
Founding fathers bangsa Indonesia mencita-citakan agar negara ini berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Artinya, sebagai sebuah negara yang bercita-cita agar rakyatnya berdaulat, adil, dan makmur harus memiliki sikap mandiri dalam berbagai aspek.
Kemandirian merupakan proses panjang yang tidak mudah, butuh perjuangan dalam mewujudkannya. Namun, jika kondisi dan situasi belum siap untuk menerapkan kemandirian, tidak ada pilihan lain kecuali mengekor kepada yang lain agar bisa eksis.
Kaidah berikut mengamini kondisi yang belum siap mandiri untuk tetap mengekor agar dapat survive sebagaimana berikut:
يَثْبُتُ تبَعْاً مَالاَ يَثْبُتُ اِسْتِقْلاَ لاً.
(yatsbutu tab’an mala yatsbutu istiqlalan)
Artinya: “Dapat ditetapkan karena mengekor, sesuatu yang tidak bisa ditetapkan pada saat mandiri.”
Maksud kaidah ini bahwa ketetapan sebuah hukum dapat diberlakukan terhadap sesuatu yang mengekor, namun tidak dapat diberlakukan ketika dalam keadaan mandiri. Artinya, posisi mengekor itulah yang dijadikan patokan untuk menetapkan hukum. Seandainya pada posisi mandiri, maka ketetapan hukum menjadi batal.
Kaidah ini masih dalam lingkup sub-kaidah at-tabi’u tabi’un, sesuatu yang mengekor harus mengikuti, sekaligus mempertegas varian kaidah sebelumnya, yughtafaru fi at-tabi’ mala yughtafaru fi al-matbu’, dapat ditoleransi sebab mengekor, sesuatu yang tidak dapat ditoleransi pada saat menjadi induk yang diikuti.
Aplikasi kaidah: hubungan nasab antara anak dan ayah kandungnya dapat ditetapkan melalui kesaksian para perempuan terhadap terjadinya kelahiran. Dalam kasus ini objek persaksian para perempuan adalah terjadinya kelahiran, sedangkan ketetapan hubungan nasab merupakan konsekuensi dari adanya kelahiran. Sehingga hubungan nasab berposisi mengekor (tab’an) terhadap kelahiran yang menjadi objek persaksian.
Hal ini menjadi berbeda ketika para perempuan bersaksi tentang hubungan nasab anak dan ayah antara si A dengan si B. Kesaksian perempuan dalam hal hubungan nasab ini tidak diakui dan tidak sah. Sementara kesaksian perempuan tentang terjadinya kelahiran adalah sah, sehingga konsekuensi dari adanya kelahiran juga ikut sah.
Dibolehkan menjual buah yang ada di taman yang mencakup berbagai macam jenis buah dengan catatan sebagian besar buahnya sudah matang, meskipun tidak semuanya. Dalam hal ini dibolehkan menjual buah keseluruhan yang ada dalam taman. Padahal jika di akad tersendiri buah yang belum matang tidak sah dijual. Namun, karena posisinya mengekor kepada buah yang matang tetap dikategorikan jual beli yang sah.
Hikmah kaidah dalam kehidupan. Sesuatu yang belum siap untuk mandiri jangan dilepas begitu saja. Lakukan step by step hingga benar-benar siap untuk mandiri. Sebab sesuatu yang belum matang cenderung cepat punah jika dipaksakan untuk mandiri. []
Wallahu ‘alam