Komisi fatwa Saudi Arabia memutuskan berdzikir la ilaha illallah saat mengantar jenazah yang hendak dimakamkan, termasuk perbuatan bid’ah muharramah (bid’ah yang haram dilakukan). Begitu juga bin Bazz, dalam fatwanya menyaringkan dzikir saat mengantar jenazah ke pemakaman tidak ada dalilnya sama sekali, artinya ini perbuatan bid’ah. (Lihat web resmi Bin Baz).
Secara tidak langsung, fatwa tersebut telah menusuk tradisi umat Islam Indonesia di mana ketika mengantarkan jenazah ke pemakaman senang dengan berdzikir la ilaha illallah. Tradisi ini sudah sejak lama, hingga sekarang tanpa ada seorang pun yang merasa terganggu atau risih dengan tradisi ini sebelumnya.
Memang dalam madzhab Syafi’i sebagian besar ulama’ mengatakan hukumnya makruh berdzikir dengan keras ketika mengantarkan jenazah. Karena ada riwayat dari imam al Baihaqi:
إِنَّ الصَّحَابَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ كَرِهُوا رَفْعَ الصَّوْتِ عِنْدَ الْجَنَائِزِ وَالْقِتَالِ وَالذِّكْرِ
Artinya: “Sesungguhnya shahabat ra, tidak senang menyaringkan suara ketika mengantarkan jenazah, berperang dan berdzikir” (HR. al Baihaqi)
Akan tetapi alasan mendasar kemakruhan ini tidak lain, agar umat Islam tidak ikut meniru-niru dengan tradisi ahlul kitab zaman jahiliyah ketika ia mengantarkan jenazah. Oleh karena itu, syaikh al Madabigzi membatasi kemakruhan ini pada awal-awal Islam akan berkembang. Dalam kitab Tuhfatul Habib, syaikh al Bujairomi mengutip perkataannya: “Kemakruhan ini dengan memandang kepada Islam di masa awal, jika tidak demikian, maka sekarang tidak apa-apa melakukannya, karena menjadi syiar bagi mayit, sebab jika tidak melakukan dzikir, bisa-bisa bicara hal yang buruk”.
Bahkan seandainya hukum berdzikir saat mengantarkan jenazah dihukumi sunnah, masih layak dikatakan benar, sebagaimana yang biasa dilakukan umat Yaman dan Indonesia. Bahkan jika diduga kuat, dengan berdzikir dapat mengahalangi orang yang mengantarkan jenazah tidak berbicara hal-hal yang tidak berguna, maka tidak diragukan lagi kesunnahannya. Syaikh as Syarwani berkata:
ثُمَّ الظَّاهِرُ أَنَّهُ حَيْثُ غَلَبَ عَلَى الظَّنِّ أَنَّ اشْتِغَالَهُمْ بِالْجَهْرِ بِالذِّكْرِ يَمْنَعُ مِنْ مَعْصِيَةٍ كَنَحْوِ غِيْبَةٍ تَزُوْلُ الْكَرَاهَةُ
Artinya: “Kemudian, jelas jika menyibukkan dengan menyaringkan dzikir dapat menghalangi perbuatan maksiat, seperti menfitnah maka kemakruhan tadi menjadi hilang”
Jadi pada dasarnya kemakruhan menyaringkan dzikir saat mengantarkan jenazah karena takut meniru-niru tradisi zaman jahiliyah. Tetapi manakala niat itu tidak terwujud, dan bahkan berdzikir dalam rangka menyibukkan diri agar terhindar dari perbuatan maksiat yang datang dari lisan, maka ulama sepakat ini hukumnya sunnah.
Di samping itu, juga ada riwayat dari Ibn Umar ra tentang perbuatan Rasulullah saw yang berbunyi:
لَمْ يَكُنْ يُسْمَعُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَمْشِي خَلْفَ الْجَنَازَةِ إِلَّا قَوْلَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُبْدِيًا وَرَاجِعًا
Artinya: “Tidak ada yang didengar dari Rasulullah saw ketika ia berjalan di belakang jenazah kecuali ucapan la ilaha illallah, baik pergi atau pulannya” (HR. Adi al Jurjani)
Berdasarkan riwayat ini, ulama menegaskan bahwa berdzikir saat mengantarkan jenazah menuju pemakaman hukumnya sunnah secara mutlak dan disyariatkan.
Wallahu a’lam