tafsir sufi
tafsir

Tafsir Maqashidi: Sebuah Konsep dan Kritik

Istilah tafsir maqashidi, secara teknis di Indonesia, dapat dibilang “baru” dan dikenal luas di kalangan pengkaji al-Qur’an. Merujuk pada pernyataan Abdul Mustaqim, dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir momentum saat pengukuhan gelar profesor atau guru besar ulum al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Desember 2019.

Mustaqim menyampaikan isi pidatonya di hadapan anggota senat kampus setempat, berjudul Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqashidi sebagai Basis Moderasi Islam. Ia mendemonstrasikan perihal konsep tafsir maqashidi ini.

Meski memiliki kemiripan dengan terminologi yang sebelumnya telah dikenal dalam bidang fiqh/ushul fiqh, yaitu maqashid al-syari’ah, namun keduanya memiliki perbedaan operasional, tanpa dimaksudkan saling meniadakan peran. Sebagaimana diakuinya, tafsir maqashidi justru pengembangan dari teori maqashid, yang lazim dikenal dalam studi hukum Islam.

Namun demikian, Mustaqim tidak membatasi pada tafsir ayat-ayat hukum, tapi juga diterapkan pada semua elemen, seperti tema tauhid (teologi), kisah (qisshah), dan perumpamaan (amtsal). Misalnya, kisah Nabi Nuh a.s (Q.S Hud: 40 dan al-Mu’minun: 27) yang disuruh mengangkut semua jenis hewan sepasang-sepasang ke dalam kapalnya, dapat dipahami sebagai pesan ekologi untuk merawat populasi hewan.

Begitu pula dengan contoh ayat-ayat amtsal dan majaz, seperti Q.S Al-Baqarah: 187, terkait relasi suami-istri yang digambarkan sebagai libas (pakaian). Hal itu mengandung maksud untuk mengukuhkan dimensi kesetaraan (al-musawah, equality) dan ketersalingan untuk sama-sama menutupi “aurat” (kekurangan suami-istri).

Pemahaman yang demikian itu, menurut Mustaqim sesuai dengan prinsip maqashidi (maksud, tujuan) dari ajaran Islam. Tafsir maqashidi dapat didefinisikan sebagai model penafsiran al-Qur’an yang memberikan penekanan (aksentuasi) terhadap dimensi maqashid al-Qur’an dan maqashid al-syariah sekaligus.

Ini benar, tapi bagaimana hubungannya dengan teori atau metode tafsir lain yang lebih dulu dikenal oleh masyarakat luas? Benarkah tafsir maqashidi sebuah metode tafsir yang benar-benar baru?

Apa yang dirumuskan oleh Mustaqim, tentu tidak berangkat dari ruang kosong. Ia, jelas telah melalui tahapan membaca karya-karya ulama, pemikir, dan penafsir, yang mungkin dianggapnya kurang memadai ketika menjelaskan konsep maqashidi dalam konteks tafsir al-Qur’an. Di antaranya, Mustaqim mengkritik Abdul Karim Hamidi dalam kitab al-Madkhal ila Maqashid al-Qur’an (2007), yang dianggap masih menyamakan antara tafsir maqashidi dengan maqashid al-syariah.

Sementara Mustaqim sepertinya belum memeriksa karya Abdul Karim Hamidi yang lain, bahwa tahun 2008, ia kembali menulis kitab berjudul Maqashid al-Qur’an min Tasyri’ al-Ahkam. Di buku ini, Abdul Karim Hamidi menyebutkan, sebagaimana dikutip oleh Wasfi Asyur Abu Zayd dalam Nahwa al-Tafsir al-Maqashidi li al-Qur’an al-Karim: Ru’yah Ta’sisiyyah li Manhaj Jadid fi Tafsir al-Qur’an (2019), maqashid al-Qur’an sebagai tujuan tertinggi yang dihasilkan dari penyatuan seluruh hukum al-Qur’an.

Karya Wasfi itu kemudian diterjemahkan dan diterbitkan oleh Qaf (Maret, 2020) ke dalam bahasa Indonesia, berjudul Metode Tafsir Maqashidi: Memahami Pendekatan Baru Penafsiran al-Qur’an. Wasfi sebenarnya tidak terlalu mendalam bicara tentang tafsir maqashidi, justru yang ia bicarakan hal-hal normatif terkait definisi, sejarah, metode, syarat, dan manfaat. Tetapi tetap penting sebagai pendasaran untuk mengenal dan memperlajari metode tafsir maqashidi, dari tingkat paling bawah.

Wasfi, meski seorang Arab yang memungkinkan lebih mudah mengakses literatur yang pada umumnya berbahasa Arab, tidak lebih baik daripada Mustaqim. Namun keduanya memiliki kesamaan prinsip, yang meminjam istilah Wasfi, disebut sebagai ru’yah, artinya melihat sesuatu dengan jernih dari semua sisi dan dimensi.

Artinya, jika diperbandingan antara apa yang telah dilakukan oleh Wafi maupun Mustaqim dalam menjelaskan konsep tafsir maqashidi, memiliki perbedaan dan sekaligus persamaan. Wasfi lebih bercorak normatif, Mustaqim bergerak selain pada level penguatan wacana juga berusaha bereksperimen melalui contoh-contoh.

Wasfi terkesan menari-nari di atas corak tafsir lain, yang mengklaim tafsir maqashidi selain sebagai corak tafsir tersendiri, juga sebagai ruh dari ragam tafsir-tafsir yang sudah ada, seperti metode tahlili (analitik), mawdhi’i (atomistik), ijmali (global), maudhu’i (tematik), muqarin (komparatif), dan sunani (profetik).

Sementara Mustaqim bertitik tolak pada argumen ketegangan antara pendekatan tafsir tekstualis-skriptualis-literalis (al-ittijah al-zhahiri al-harfi al-nashshi) dengan pendekatan detektualis-liberalis (al-ittijah al-tathili al-liberali).  Tafsir maqashidi, oleh Mustaqim dimaksudkan sebagai alternatif moderasi (washatiyah), yang tidak sepenuhnya memberhalakan teks di satu sisi, dan tidak mengutamakan konteks di sisi lain.

Sekilas memang ideal apa yang dijelaskan oleh Mustaqim, tetapi jika dicermati, juga menimbulkan problem, setidaknya dua hal. Pertama, cenderung mengkambingmerahkan hermeneutika, dan kedua, klaim yang mengatakan bahwa tafsir maqashidi dianggap sebagai anak kandung peradaban Islam.

Persepsi tersebut seolah membenarkan bahwa khazanah keilmuan Islam berdiri sendiri tanpa dipengaruhi oleh tradisi dan budaya lain, dalam hal ini filsafat, termasuk hermeneutika. Nyatanya, tidak!

Bagikan Artikel ini:

About Ali Usman

Pengurus Lakpesdam PWNU DIY

Check Also

kemerdekaan palestina

Gilad Atzmon dan Pandangannya tentang Kemerdekaan Palestina

Gilad mendukung penuh “hak pulang kampung” rakyat Palestina dan “solusi negara tunggal” bagi penyelesaian konflik yang sudah berlangsung lama itu.

asmaul husna

Kearifan Sufi dan Terapi Asmaul Husna

Menjadi seorang sufi, atau menjalankan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah tantangan. Dikatakan demikian, …