kaidah tentang kontradiksi
kaidah tentang kontradiksi

Kaidah Fikih: Menimbang Dua Hal Yang Kontradiktif

Kaidah ini berbicara tentang cara menimbang dua hal yang kontradiktif atau bertentangan. Mana kira-kira yang didahulukan?


Kontradiksi adalah hukum alam (sunnatullah) yang sengaja diciptakan agar terjadi dialektika demi keberlangsungan alam itu sendiri. Dialektika dalam dunia filsafat merupakan teori Hegel yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat di alam semesta merupakan hasil dari pertentangan antara dua hal yang memunculkan hal baru, dan begitu seterusnya.

Kontradiksi harus diterima sebagai sebuah keharusan meski terkadang memilukan. Namun, dua hal yang berbeda tidak selalu berkonotasi negatif, bahkan terkadang keduanya merupakan pasangan. Misalnya ada siang ada malam, ada jenis kelamin laki-laki ada perempuan, ada gelap ada terang dan seterusnya.

Lalu bagaimana jika kontradiksi itu terjadi dalam ranah hukum, yang satu menghendaki, yang lain menghalangi? Kaidah berikut mengurai dua hal yang bertentangan dengan redaksi yang berbunyi:

اِذَاتَعَارَضَ اْلمُقْتَضِيْ وَاْلمَانِعُ قُدِّمَ اْلمَانِعُ

(idza ta’aradla al-muqtadli wa al-mani’ quddima al-mani’)

Artinya: “Apabila terjadi kontradiksi antara hal yang menghendaki dan hal yang menghalangi, maka yang menghalangi harus didahulukan.”

Maksud kaidah ini bahwa apabila terjadi pertentangan atau tarik menarik antara sesuatu yang menjadi motif (muqtadli) dan sesuatu yang menjadi penghalang (mani’), maka penghalang harus diunggulkan dan dimenangkan. Artinya, faktor penghalang harus diperhatikan dan diberlakukan dan motif diabaikan. Dengan alasan syariat memberi perhatian lebih terhadap hal-hal yang dilarang dari pada terhadap hal-hal yang diperintahkan.

Mani’ diunggulkan dari pada muqtadli dengan dua catatan, pertama, posisi dan kadar resiko dalam taraf yang sama antara mani’ dan muqtadli. Kedua, mani’ mempunyai resiko yang lebih besar dari pada muqtadli.

Contoh antara faktor pendorong (muqtadli) untuk keluar dari kepemimpinan yang zalim dengan faktor penghalang (mani’) untuk keluar karena akan menimbul caos sosial. Kondisi ini diunggulkan mani’, artinya tetap tidak keluar dari kepemimpinan tersebut.

Oleh karena itu, jika muqtadli mempunyai resiko yang lebih besar, maka muqtadli harus diunggulkan. Contoh, orang yang dalam kondisi terdesak dalam kelaparan diperbolehkan mengambil paksa makanan milik orang lain. Kebolehan ini merupakan bentuk mendahulukan muqtadli, yaitu menyelamatkan jiwa, dari pada mani’, yaitu makanan milik orang lain.

Aplikasi kaidah: tidak diperbolehkan berbisnis barang-barang terlarang, meskipun mengandung keuntungan yang sangat besar, karena mengunggulkan faktor penghalang, yakni barang terlarang dari pada meraup keuntungan besar (faktor pendorong, muqtadli).

Perempuan tidak diperkenankan melakukan shalat berjemaah di masjid dengan mendahulukan sisi mani’, yaitu timbulnya fitnah dan mafsadat. Sama halnya shalat berjemaah di masjid tidak diperkenankan dikarenakan akan menimbulkan mafsadat, semisal penularan dan penyebaran wabah Covid-19 dengan pertimbangan mendahulukan mani’, yaitu penyebaran wabah, dari pada muqtadli, yaitu untuk menegakkan syiar Islam melalui shalat berjemaah.

Seorang suami dilarang ‘mendekati’ istrinya ketika sedang haid, karena mengunggulkan faktor penghalang, yaitu sedang haid, dari pada faktor pendorong, yaitu menggauli istri yang sah.

Pihak yang menggadaikan tidak diperkenankan menjual barang jaminan gadai, meskipun miliknya, karena memenangkan sisi mani’, yaitu ada hak pihak penerima gadai terhadap barang gadai tersebut.

Hikmah kaidah dalam kehidupan. Setiap hendak mengambil keputusan dalam kehidupan, perhatikan dan pertimbangkan dua hal yang menjadi faktor pendorong dan faktor penghalang. Yang mana di antara keduanya yang lebih banyak mengandung manfaat dan kemaslahatan.

 Jika keduanya setara, maka berpihaklah pada faktor penghalang. Asalkan dua hal ini dipikir dengan matang insyallah keputusan yang diambil akan membawa kebaikan dan kemaslahatan bersama. []

Wallahu ‘alam

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …