Tag Archives: kaidah fikih

Kaidah Fikih: Tak Ada Ungkapan yang Sia-Sia

kaidah ungkapan

Dalam artikel sebelumnya telah dibahas kaidah-kaidah induk (asasiyah kubra) yang menjadi acuan dan disepakati semua mazhab fikih, kemudian disusul dengan kaidah-kaidah cabang yang menginduk kepadanya (ma yatafarra’u minha). Pembahasan selanjutnya akan dipaparkan kaidah-kaidah umum (kulliyah) yang juga diterima oleh semua mazhab, namun cakupannya lebih sempit di luar kaidah induk dan cabangnya (qawaid kulliyah ghair al-kubra). Dalam pembagian jenis kaidah fikih, …

Read More »

Kaidah Fikih Cabang Kelima: Berpijak Pada Illat, Bukan Hikmah

kaidah illat

Sebuah ketentuan hukum idealnya mengacu dan berpijak di atas landasan argumentasi kemaslahatan. Kemaslahatan selalu menjadi motif dan puncak tujuan diundangkannya sebuah hukum. Demi stabilitas hukum, pondasi yang menjadi pijakan haruslah sesuatu yang jelas terukur dan terstandarisasi (mundlabith). Dalam rangka menciptakan standar baku, lalu dibuatlah rumah yang bernama illat (reason, alasan). Rumah illat ini sebagai upaya menjaring maslahat yang menjadi tujuan …

Read More »

Kaidah Fikih Cabang Kelima: Syarat yang Tak Tertulis

kaidah adat

Secara sederhana kaidah ini menegaskan bahwa kebiasaan yang sudah berlaku umum di tengah masyarakat disamakan dengan syarat yang sudah disepakati, walaupun tidak tertulis hitam di atas putih. Dalam kehidupan sosial terdapat norma-norma dan aturan yang harus ditaati dan mengikat setiap anggota masyarakat. Seorang sosiolog asal Prancis, Emile Durkheim menyebutnya dengan istilah fakta sosial. Menurutnya, fakta sosial diartikan sebagai gejala sosial …

Read More »

Kaidah Fikih Cabang Kelima: Kriteria Adat

kriteria tradisi

Adat atau tradisi bisa dijadikan salah satu pijakan dalam memutuskan hukum. Namun, tidak semua adat bisa diperlakukan sebagai pijak kecuali memenuhi kriteria. Adat atau tradisi yang dapat dijadikan pijakan dalam memutuskan suatu hukum harus memenuhi kriteria dan batasan-batasan tertentu. Tidak semua adat secara bebas dapat dijadikan pedoman sebagai penentu hitam putih sebuah hukum. Di antara kriteria dan batasan adat adalah …

Read More »

Kaidah Fikih Cabang Kelima: Adat Sebagai Tolak Ukur

adat tolak ukur

Adat atau kebiasaan dapat dijadikan tolak ukur dalam memutuskan perkara, kecuali ada bukti yang membantahnya. Dalam dunia peradilan Islam, pendakwa (mudda’i) harus mendatangkan bukti-bukti dan saksi, sementara terdakwa (mudda’a ‘alaih) cukup dengan bersumpah untuk menyangkal tuduhan-tuduhan yang diarahkan terhadap dirinya (al-bayyinah ‘ala manidda’a wa al-yamin ‘ala man ankara). Hal itu merupakan pedoman bagi hakim dalam memutuskan sengketa. Selain itu, ada …

Read More »

Kaidah Fikih Cabang Kelima: Menghargai Tradisi

tradisi

Kaidah fikih cabang yang mengekor di bawah naungan kaidah induk kelima, yakni al-‘adah muhakkamah (Tradisi/urf dapat dijadikan pijakan hukum) cukup beragam. Di antaranya terdapat kaidah yang searti dengan kaidah induknya. Kaidah yang searti ini akan ditampilkan bersama kaidah cabang yang lain dalam satu bahasan. Di antara kaidah cabang yang senada dengan kaidah induknya seperti berikut ini: اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ …

Read More »

Kaidah Fikih Cabang Keempat: Memposisikan Hajat

kaidah fikih hajat

Permudah, jangan mempersulit! Petuah Sang Nabi yang banyak mengilhami dan menginspirasi para ulama’ dalam berijtihad mencetuskan aturan-aturan hukum fikih terkait dengan rukhshah (dispensasi hukum). Dispensasi yang diberikan tidak hanya berkaitan dengan persoalan darurat saja. Namun, hal-hal yang menjadi kebutuhan dan hajat hidup orang banyak juga tak luput dari perhatian. Meskipun kadar derajatnya berada satu tingkat di bawah darurat, hajat pada …

Read More »

Kaidah Fikih Cabang Keempat: Darurat Tak Menggugurkan Hak

darurat dan hak

Dalam kondisi terdesak dan terpaksa seseorang diperbolehkan melakukan hal yang dilarang dan yang tidak dibolehkan dalam keadaan normal. Sebagaimana kaidah al-dlarurat tubihul mahdhurat. Kenyataan yang terjadi terkadang tindakan tersebut bersangkut paut dengan hak orang lain. Artinya, kebolehan dalam kondisi darurat tidak lantas menegasikan hak yang lain. Islam sangat menjaga dan menghormati hak orang lain. Lalu apakah dispensasi hukum yang disebabkan …

Read More »

Kaidah Fikih Cabang Keempat: Mengukur Kadar Kebutuhan

darurat

Kaidah ini sebagai bentuk kesinambungan dan menjadi catatan untuk membatasi dispensasi dan toleransi yang diberikan syariat Islam pada situasi darurat dan kondisi kritis yang menyebabkan kesulitan sebagaimana diulas pada kaidah cabang sebelumnya. Dispensasi yang diberikan tidak boleh melampuai kebutuhan dan tanpa batas. Oleh karena itu, kaidah ini hadir sebagai kontrol agar aturan dan hukum tidak menjadi liar dengan redaksi sebagai …

Read More »

Kaidah Fikih Cabang Keempat: Saat Kritis Menjadi Dinamis

kaidah fikih kondisi dinamis

Aturan dan hukum dibuat dalam rangka menciptakan ketertiban dan harmoni dalam kehidupan manusia. Dalam batas-batas kewajaran tidak dijumpai aturan yang memberatkan. Hal demikian tidak lain demi tujuan mulia, yaitu terciptanya keteraturan dan kenyamanan dalam menjalani hidup dan kehidupan. Namun, dalam situasi tertentu seorang mukallaf menjadi kesulitan dan ruang gerak menjadi terbatas jika harus menggunakan dan melaksanakan hukum asal. Kondisi inilah …

Read More »

Kaidah Fikih Cabang Keempat: Membolehkan yang Tidak Boleh

kaidah fikih

Seperti halnya kaidah induk yang lain, kaidah induk keempat yang berbunyi al-masyaqqah tajlibut taisir (kesulitan akan membawa kemudahan) juga membawahi beberapa kaidah cabang yang bernaung dan menginduk kepadanya. Di antara kaidah cabang tersebut adalah kaidah berikut: اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاتِ.  (al-dlarurat tubihu al-mahdhurat) “Kondisi darurat memperkenankan hal-hal yang dilarang” Pada hakikatnya kaidah ini dapat menjadi cabang dan menginduk kepada dua kaidah …

Read More »

Kaidah Fikih Cabang Ketiga: Mudarat Tak Mengenal Waktu

fiqih

Sebagaimana sudah maklum bahwa syariat Islam hadir untuk menyuguhkan dan mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh manusia serta menghalau dan meniadakan segala bentuk kemudaratan. Artinya, syariat Islam selalu berupaya sekuat tenaga untuk menegasikan apapun bentuk kemudaratan. Bahkan, mencegah mudarat ini lebih diprioritaskan dari pada menarik  kemaslahatan yang secara bersamaan bisa mengandung sisi mudarat di dalamnya. Oleh sebab itu, untuk menegasikan kemudaratan yang …

Read More »

Kaidah Fikih Cabang Ketiga: Solusi Pilihan Dilematis

dua mafsadat kaidah fikih

Kaidah cabang ketiga yang akan dibahas dalam tulisan ini merupakan pengembangan dan penyempurnaan dari cara mencari solusi problem manusia yang dihadapkan pada dua pilihan yang dilematis. Kondisi yang sama-sama pahit dan getir. Kadang menjalani kehidupan itu tidak selamanya indah seperti yang diharapkan. Dalam kondisi tertentu kita mengalami suatu kondisi yang menuntut suatu pilihan cerdas. Pilihan pun tidak selamanya menyenangkan, tetapi …

Read More »

Kaidah Fikih Cabang Ketiga: Dahulukan Kepentingan Umum

kaidah fikih kepentingan umum

Kaidah cabang ini menyinambungkan kaidah cabang sebelumnya. Jika kaidah sebelumnya mentolerir terjadinya mudarat ringan dalam rangka mencegah timbulnya mudarat yang lebih dahsyat, maka kaidah ini membidik efek yang ditimbulkan dari suatu kemudaratan. Apakah akibat tersebut memiliki jangkauan yang luas ataukah hanya lingkup sempit dan terbatas. Ketika suatu kemudaratan harus terpaksa dilakukan dalam rangka mencegah kemudaratan lain yang efeknya lebih luas …

Read More »

Kaidah Fikih Cabang Ketiga: Lakukan Yang Ringan, Hindari Yang Berat

kaidah fikih 1

Segala bentuk mudarat memiliki level tersendiri. Ketika dikaji dari berbagai sudut pandang tentu setiap mudarat tidak berada pada derajat yang sama. Setiap mudarat pasti memiliki efek dan dampak yang berbeda satu sama lain, baik secara kualitas maupun kuantitas. Jika untuk mencegah suatu mudarat tidak menemukan solusi kecuali dengan cara melakukan mudarat lain, maka diperkenankan dengan catatan mudarat yang hendak dijadikan …

Read More »

Kaidah Fikih Cabang Ketiga: Mencegah Mudarat, Bukan Menimbulkan Mudarat Baru

kaidah fikih

Kaidah induk ketiga menyatakan bahwa segala bentuk kemudaratan harus dihindari dan dicegah jangan sampai terjadi. Kalaupun sudah terjadi harus ada upaya untuk menghilangkan dan memberantasnya. Namun, bukan berarti bebas-lepas bertindak semaunya dalam rangka pencegahan terhadap kemudaratan. Harapannya, pencegahan kemudaratan yang dilakukan haruslah mendatangkan kemaslahatan dan manfaat yang dapat dirasakan mulai lingkup kecil hingga lingkup yang sangat luas. Kaidah cabang ketiga …

Read More »

Kaidah Fikih Cabang Kedua: Dhan (Dugaan Kuat) yang Ternyata Salah

kaidah fikih praduga salah

Dalam situasi tertentu terkadang terjadi kekaburan dalam menentukan langkah yang harus diambil terkait dengan perilaku yang berhubungan dengan fikih. Situasi semacam itu mengharuskan adanya ijtihad (usaha keras untuk mencapai sesuatu yang dituju). Ijtihad di sini posisinya menempati level dhan, dugaan kuat yang mencapai 75%. Tentunya, dengan berpijak pada dhan inilah Islam mempersilahkan untuk melangsungkan dan melaksanakan hasil ijtihad tersebut. Bahkan, …

Read More »

Kaidah Fikih Cabang Kedua: Buanglah Praduga Dan Prasangka!

kaidah praduga

Dalam teori hukum Islam atau fikih, dugaan dan sangkaan mempunyai kadar tingkat kekuatan yang berbeda-beda. Kalkulasi tersebut didasarkan atas peluang kemungkinan yang akan terjadi. Secara sederhana ada tiga istilah untuk mengkategorikan level dugaan dan sangkaan, yaitu wahm, syak, dan dhan. Level terendah dugaan adalah wahm, yakni praduga yang sifatnya diperkirakan hanya 25% jika dikalkulasi dalam prosentase. Syak adalah level tengah, …

Read More »

Kaidah Fikih Cabang Kedua: Arti Penting Ketegasan Dalam Pernyataan

fikih

Antara petunjuk yang dihasilkan dari pembacaan situasi, kondisi, perilaku, sikap dan gerak-gerik seseorang terkadang berlawanan dengan pernyataan tegas yang diungkapkan melalui sebuah bahasa. Kaidah berikut hadir guna menyikapi persoalan ini, yang berbunyi: لاَعِبْرَةَ بِالدَّلاَلةِ فِيْ مُقَابَلَةِ التَّصْرِيْحِ.  (la ‘ibrata biddalalah fi muqabalati al-tashrih) “Dalalah tidak bisa dijadikan pijakan hukum jika bertentangan dengan tashrih” Sejatinya setiap manusia menyampaikan kehendak dan keinginannya …

Read More »

Kaidah Fikih Cabang Kedua: Makna Sebuah Ungkapan

kaidah fikih 2

Ungkapan menjadi sebuah sarana yang mewakili maksud dan tujuan pemiliknya. Dengan ungkapan seseorang mampu menyampaikan pesan kepada audien dan berharap penerima dan pendengar bisa menangkap maksud dan isi pesan yang disampaikan. Pemahaman yang sama antara orang pertama (mutakallim) dan orang kedua (audien/sami’/mukhatab) inilah yang menjadi prasyarat sebuah ungkapan yang sempurna (baca: kalam). Ketika sebuah ungkapan lepas dari pemiliknya dan menjadi …

Read More »

Kaidah Cabang Kedua: Misteri Sang Waktu

misteri waktu

Masih berbicara soal asal, dasar, prinsip, kaidah cabang kedua ini terus mengembangkan segala kemungkinan hal-hal yang terkait dengan isu tersebut. Lingkup kemungkinan itu dijaring salah satunya dengan kaidah berikut ini: اَلأَصْلُ اِضَافَةُ اْلحاَدِثِ اِلى أَقْرَبِ اَوْقَاتهِ.  (al-ashlu idlafatul hadits ila aqrabi awqatihi) “Secara prinsip kejadian baru harus dikaitkan dengan waktu yang paling dekat” Ketika terjadi perselisihan tentang waktu terjadinya sebuah …

Read More »

Kaidah Cabang Kedua: Asal Mula Kebaruan adalah Ketiadaan

asal mula kebaruan

Kaidah yang bernaung dan menginduk pada kaidah kedua (al-yaqin la yuzal bis syakki) selalu berbicara soal dasar, asal, pada mulanya, pada hakikatnya, secara prinsip, dan lain-lain. Hal yang dasar dijadikan pijakan dan acuan adanya keyakinan yang bersemayam di dalamnya, sehingga tidak goyah dengan datangnya keraguan yang muncul belakangan. Di antara beberapa kaidah cabang yang menginduk kepada kaidah kedua berbunyi: اَلأَصْلُ …

Read More »

Kaidah Cabang Kedua : Yang Lalu Biar Berlalu

yang lalu

Terdapat beberapa cabang kaidah yang bernaung di bawah kaidah induk kedua yakni, al-yaqin la yuzal bissyakki (keyakinan tidak bisa dikalahkan dengan keraguan). Di antara kaidah cabang yang menginduk kepada kaidah ini adalah kaidah yang berbunyi: اَلْقَدِيْمُ يُتْرَكُ عَلى قِدَمِهِ. (al-qadim yutraku ‘ala qidamihi) “Sesuatu yang telah ada sebelumnya dibiarkan sebagaimana adanya” “Yang lalu biarkan berlalu” Dimaksud dengan qadim dalam kaidah …

Read More »

Kaidah Fikih Induk Kelima : Berpijak di atas Tradisi

kaidah induk empat

Kaidah fikih induk (qawaid al-asasiyah al-kubra) yang kelimaberbunyi: اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ (al-‘adah muhakkamah) “Tradisi/urf dapat dijadikan pijakan hukum” Adat sebagai pijakan hukum fikih sudah memiliki legalitas dari teks keagamaan. Seperti yang pernah disinggung dalam surat al-Nisa’ ayat 19: وَعَاشِرُوْهُنَّ بِاْلمَعْرُوْفِ Artinya: “Gaulilah mereka dengan pergaulan yang sudah dikenal secara turun temurun dari keluarganya” (QS. An-Nisa’: 19) Senada dengan ayat ini, sabda …

Read More »

Kaidah Cabang Pertama: Subtansi Harus Didahulukan

kaidah cabang pertama

Kaidah induk yang berjumlah lima (qawaid al-asasiyah al-kubra) telah diulas tuntas dalam artikel-artikel sebelumnya. Sebagai kaidah induk, sebagaimana dipaparkan di awal, menaungi kaidah lain yang menjadi cabang. Tulisan ini dan berikutnya akan mengulas kaidah-kaidah yang menjadi cabang dari kaidah induk tersebut. Dimulai dari cabang kaidah induk pertama yang berbunyi, al-umur bi maqashidiha (segala sesuatu tergantung pada tujuannya). Kaidah ini memiliki …

Read More »